Sisi
Lain Ibnu Sina: Trilogi Mistik Ibnu Sina
Siapa
yang tidak tahu Ibnu Sina? Filsuf Muslim kenamaan abad pertengahan ini telah menghebohkan
dunia, betapa tidak Ia merupakan salah satu dari filsuf Islam yang membangun
sistem filsafat dengan terperinci, sehingga dia mendapat apresiasi dan
penghargaan yang tinggi terhadap karyanya –Al-Qanun fi at-Thib, Asy-Syifa,
An-Najat, dll- baik dari kalangan Islam sendiri maupun kalangan barat di masa
modern.
Terlahir
dengan nama Abu Ali Al-Husain Ibn Abdullah Ibn Ali Ibn Sina yang lahir di
daerah Ashfanah. Ibnu Sina muda menaruh minat yang besar terhadap dunia
filsafat dan kedokteran, matematika dan politik. Bahkan dalam waktu delapan
belas bulan, beliau telah menguasai ilmu kedokteran.
Pemikiran
filsafat Ibnu Sina tidak terlepas dari pengaruh filsuf Yunani kuno seperti
Aristoteles yang dicirikan dengan mengandalkan deduksi rasional dan demonstrasi
al-burhan oleh sebab itulah ilmuwan Muslim menempatkan dirinya dalam aliran Peripatetik beserta pendahulunya
seperti Ibnu Farabi dan Al-Kindi. Dalam perumusan sistem filsafatnya, Ia
merumuskan kembali pemikiran rasional dan murni serta tradisi intelektual dan sistem keagamaan Islam, tak heran ia
mendapat julukkan sebagai Syaikh Ar-Rais. Hal ini lah yang membuat saya
tertarik untuk mengangkat sedikit tentang
biografi Ibnu sina.
Namun
ada cerita menarik dari pemikir rasional ini, pada akhir kehidupannya dia
justru menyerang pemikiran terdahulu yang terikat dengan kebiasaan Peripatetik.
Ia menyatakan, karya-karyanya dibuat untuk ditujukan kepada orang-orang awwam.
Kemudian Ia mulai mengarang karya filsafat yang ditujukkan untuk kalangan khawwas.
Oleh
sebab itu, Ibnu Sina mulai menulis Al-Hikmah Al-Masyriqiyyah Filsafat Timur sebagai
bentuk cerminan perkembangan batinnya. Darinya Ia mulai merambah dunia mistik
dan menuangkan teori mistiknya dalam
trilogi karyanya : Hayy Ibn Yaqzan, Salaman wa Al-Absal, dan Risalah Ath-Thayr.
Kisah
petama : Hayy Ibn Yaqzan
Dalam
kisah ini, Ibnu Sina mengisahkan dirinya dalam perjalanan bersama
teman-temannya. Diceritakan, pada suatu hari Ibnu Sina pergi berkelana bersama
teman-temannya menuju sebuah kota. Dalam perjalananya, tiba-tiba dia bertemu
dengan seorang lelaki tua bernama Hayy Ibn Yaqzan, lalu Ia meminta Ibnu Sina
untuk bersedia untuk melakukan perjalanan bersamanya menuju pengembaraan yang
tiada akhir. Akan tetapi orang tua tadi menyahut, dan menyatakan bahwa Ibnu
Sina mustahil melaksanakan pengembaraan bersamaku dikarenakan tidak mungkin baginya
untuk meninggalkan teman-temannya.
Dalam
kisah ini, Ibnu Sina mencerminkan dirinya sebagai sebagai jiwa rasional, dan
teman-temannya melambangkan berbagai indera sedangkan Hayy bin Yaqzan sebagai
akal aktif.
Kisah
kedua : Salaman wa Al-Absal
Kisah
ini menceritakan tentang Absal, adik laki-laki Salaman, Ia ingin maju ke medan
perang untuk menghindari hasrat amoral istri kakaknya. Tetapi Absal
ditinggalkan pasukannya gara-gara iparnya itu dan tubuhnya pun terluka.
Datanglah seekor binatang semacam rusa menyeret tubuhnya ke tempat yang
aman.Ketika ia pulang ke rumahnya, Absal membentuk pasukan sendiri yang
kuat dan merebut kembali kerajaan yang
kalah itu demi Salaman. Istri Salaman putus asa dan meracuni Absal hingga
meninggal.Salaman yang tenggelam dalam kesedihan kehilangan gairah hidup dan
menjadi pertapa. Akhirnya seorang mistik menceritakan kepadanya bahwa istrinya
sendirilah yang menyebabkan bencana itu. Maka dibunuhlah perempuan itu dan
semua pembantunya.
Salaman
dalam kisah ini mewakili ruh rasional, Absal mencerminkan akal teoritik
sedangkan istri Salaman menggambarkan tubuh manusia yang memuja nafsu.
Kisah
ketiga: Risalah Ath-Thayr
Dalam
cerita ini, Ibnu Sina mendramatisir dirinya menjadi seekor burung yang
merupakan bagian dari kawanan burung yang terbang bebas di alam sana. Kemudian
seekor burung memasang perangkap dan berhasil menjaring burung-burung tersebut,
termasuk Ibnu Sina. Ibnu Sina berusaha keluar dari jaring perangkap itu, namun
semakin kuat berusaha justru semakin kuat ikatan tali jaring itu. Akhirnya
mereka dimasukkan ke dalam sangkar. Dengan berlalunya waktu, mereka menjadi
terbiasa dalam sangkar bahkan menganggap sangkarlah dunia sebenarnya. Mereka
lupa dan terlena pada cita-cita pertama yaitu lepas dari sangkar. Namun pada
suatu saat keterlenaan mereka terusik begitu
dilihat kawan-kawan mereka dapat terbang bebas diluar sangkar. Akhirnya
Ibnu Sina sadar bahwa sebenarnya tempatnya bukan dalam sangkar. Kemudian Ibnu
Sina memutuskan untuk meminta bantuan mereka yang diluar agar menunjuki jalan
bagaimana cara keluar dari sangkar. Akan tetapi temannya yang diluar enggan
memberi nasihat Karena Ibnu Sina tidak mungkin dilepaskan dari teman-temannya.
Setelah diadakan kesepakatan akhirnya teman-temannya bersedia menolong Ibnu
Sina.kemudian teman Ibnu Sina menceritakan perjalanan yang cukup sarat dengan
rintangan dan cobaan yang harus dilalui dan dihadapi agar lepas dari sangkar.
Akhirnya sahabat tadi menasihatkan Ibnu Sina agar kuat dan tidak sampai kalah
oleh godaan-godaan yang bakal dijumpai dalam perjalanan nanti. Sebab banyak
yang telah mencoba melakukan perjalanan bersamanya memohon istirahat karena
beratnya perjalanan tersebut dan karena terlalu banyak istirahat akhirnya lupa
akan tujuan semula.
Ketiga kisah diatas memang syarat
dengan simbol-simbol yang terasa asing bagi kita, namun keseluruhannya
menggambarkan tentang perjalanan spiritualnya dari dunia bayangan menuju dunia
sebenarnya. Inti dari kisah-kisah tersebut mengandung pesan religius, bahwa
hendaklah manusia selalu mengingat akan asalnya dan menyadari akan tempat
kembali yang hakiki. Inilah sisi batiniah Ibnu Sina yang bagi saya begitu unik
disamping pemikiran yang rasional, dia juga menampilkan sisi mistik dalam
karyanya, dan kelak pemikiran mistik ini mengisnpirasi filsuf setelahnya,
Syihab Ad-Din Suhrawardi dalam mengembangkan aliran filsafat illuminasinya
Hikmat Al-Isyraq.